THE REVENANT (2015)



Dahsyat walau tak sempurna...




1. IDE CERITA (4/5)

The Revenant mengusung ide cerita yang unik: survival, yang mana dasarnya adalah sebuah novel berjudul "The Revenant: A Novel of Revenge" karya Michael Punke yang juga terispirasi dari kisah nyata seorang penjelajah dan pemburu kulit bernama Hugh Glass. The Revenant sebenarnya juga pernah difilmkan pada tahun 1971 dengan judul "Man in the Wilderness" dengan karakter-karakter yang hampir sama. Secara keseluruhan, Alejandro G Inarritu (sutradara) jelas memfokuskan cerita pada perjuangan seorang Hugh Glass yang "sudah jatuh tertimpa tangga", sudah dicabik-cabik beruang lantas ditinggal pergi oleh rekan-rekannya. Proses bertahan hidup sangat ditekankan di sini dan untungnya, paduan Inarritu-Smith-Lubezki berhasil menghidupkan level suasana hingga ke titik tinggi. Di sini, kita akan merasakan sendiri bagaimana Glass dalam menghadapi maut sampai ia berhasil keluar dan bangkit kembali untuk membalas dendam. Ya, balas dendam terhadap seorang pengkhianat bajingan yang telah membunuh anaknya, Hawk. Leonardo DiCaprio yang membawakan sosok Hugh Glass bermain gemilang. Tom Hardy dengan peran sebagai "nemesis" yang bernama John Fitzgerald juga begitu memukau. Menurut saya pribadi, Fitzgerald adalah bajingan di atas bajingan yang lebih bangsat dari para bangsat yang pernah ada dalam sebuah film sepanjang tahun 2015 yang lalu. Bagusnya, Inarritu membocorkan "status" mereka berdua sejak awal film. Sehingga, kita segera mengerti dan mulai berspekulasi akan apa yang terjadi pada mereka berdua.

2. PLOT (3/5)

Menurut saya, plot dalam film ini adalah aspek yang paling buruk. Suasananya memang bagus. Hook di awal, dimana suku Arikara melancarkan serangan mendadak ke tempat istirahat rombongan Glass, juga sukses memancing ketegangan penonton. Akan tetapi, tingkat kedalaman cerita The Revenant itu sendiri yang sangat dangkal. Hal ini mengingatkan saya pada film The Crow (1994) dengan bintangnya almarhum Brendan Lee, dimana ceritanya juga mengenai usaha balas dendam. Beberapa menit pertama The Revenant lumayan menarik simpati saya. Konflik Glass-Fitz diperkenalkan dari awal dan semakin memanas seiring berjalannya waktu, sampai pada puncaknya Fitz membunuh Hawk dan menipu Bridger untuk meninggalkan Glass yang berada di ambang hidup dan mati. Setelah mereka berdua pergi, tinggallah seorang Glass yang pucat dan lemah berjuang untuk bangkit dan bertahan hidup di alam liar, dimana ancaman Arikara bisa datang sewaktu-waktu bak badai yang menerjang tanpa ampun. Sepanjang perjuangan Hugh Glass tersebut, cerita semakin dangkal dan semakin tipis. Penonton hanya dijejali usaha keras Glass dalam bertahan hidup seperti berpindah dari tempat satu ke tempat lain, mengobati luka dengan cara yang tak lazim, makan ikan dan hati bison mentah, sampai melindungi diri dari angin dingin Nothern Plains. Setelah itu, Glass akhirnya bertemu dengan rombongan yang meninggalkannya, bergabung kembali dengan mereka sembari memulihkan kondisinya dan mengajak kapten Henry untuk ikut bersamanya membalas dendam kepada Fitzgerald. Setelah itu? Ending credit. Selesai. Jadi, bisa saya tangkap bahwa film ini adalah tentang pergulatan seorang manusia dengan alam dan kematian untuk bangkit kembali dan membalas dendam. Setelah balas dendam itu dilakukannya, tidak ada lagi yang perlu diceritakan. Inilah yang membuat saya merasa ending dalam film ini tidak istimewa. Pertarungan terakhir sangat menegangkan, tapi setelah itu saya hanya merasakan kehampaan, seolah Mark L. Smith dan Inarritu tak ingin berpanjang-panjang dalam menciptakan ending. Ide utama sudah tersampaikan. Balas dendam sudah dilaksanakan. Jadi, apalagi yang harus diceritakan, selain adegan Hugh Glass perlahan menghadap kamera dengan ekspresi yang entah apa yang ia pikirkan. Saya pribadi menganggap itu salah satu elemen estetika untuk pemanis belaka. Namun, hal itu justru membingungkan bagi saya.

3. AKTING (5/5)

Beberapa waktu yang lalu, Leonardo DiCaprio berhasil membawa pulang piala Oskar sebagai "Best Actor" dalam film ini. Tidak mengherankan memang mengingat bagaimana totalitasnya sebagai Glass di sepanjang film. Sepanjang sejarah saya menikmati sebuah film, hanya dia yang berhasil membuat saya seolah ikut mengalami peristiwa yang ia alami, ikut merasakan apa yang ia rasakan, ikut memikirkan apa yang ia pikirkan, dan ikut berdarah bersamanya. Tidak akan pernah bisa kita melupakan apa yang terjadi padanya saat berhadapan dengan seekor Grizzly di tengah hutan dan jauh dari kelompoknya. Dengarlah ia menjerit! Perhatikan wajahnya yang tak dapat digambarkan oleh kata apapun. Dari pertarungan dengan beruang kita beralih ke situasi yang lebih mencekam. Maut ada di tangan seorang pengkhianat bernama Fitzgerald. Perhatikan mimik dan nafas Glass saat Fitz mencoba membunuhnya dengan kain. Perhatikan pula bagaimana dia saat Fitz membunuh Hawk yang sangat dicintainya. Rasakan pula bagaimana saat Fitz menariknya dengan paksa ke liang kubur yang sudah dipersiapkannya. Mau lebih jauh lagi? Siapa yang tidak ikut berdebar menyaksikan Glass mengeluarkan seluruh isi perut seekor kuda tunggangannya hanya agar dia bisa masuk ke dalam tubuh kuda itu untuk melindungi diri dari suhu dingin. Perhatikan juga Fitzgerald yang brengsek dan penuh ancaman bahkan walau dia sedang diam. Sorot mata dan ketenangannya mampu menghadirkan suasana mencekam. Bahkan gaya bicaranya sudah menyuntikkan nada seorang penjahat. Meski demikian, aktor-aktor pendukung lain juga lihai membawakan peran masing-masing. Misalnya Dohmnall Gleeson sebagai kapten Henry setia kawan dan tegas, Will Poulter sebagai Jim Bridger yang culun, bahkan Forrest Goodluck sebagai Hawk yang tak banyak kemunculannya.

4. EFEK AUDIO (4/5)

Salah satu aspek yang membuat film ini terasa sangat alami adalah audio. Suasana alam liar begitu terasa. Jika Anda cermat, Anda bisa mendengarkan berbagai suara latar yang off screen. Suara-suara pendukung itu adalah hal kecil, tapi memiliki kekuatan yang sangat besar untuk membangun suasana. Beberapa kali Anda dapat mendengar suara desir angin, suara burung-burung liar, suara percakapan kelompok Glass dalam melakukan aktivitas mereka, dan semua itu off screen. Belum lagi score yang dirancang oleh Ryuichi Sakamoto dan Alva Noto. Musiknya pelan dan sangat menggambarkan suasana film yang kelam dan tragis.

5. EFEK VISUAL (4,25/5)

Suasana alam liar benar-benar terasa dan seolah mengingatkan kita bahwa di sanalah hukum rimba berlaku. Siapa yang lemah pasti terhantam keganasan alam dengan segala rahasianya. Namun, terkadang alam jugalah yang dapat menyediakan perlindungan dan pemenuhan kebutuhan kita walau hanya sementara, tergantung bagaimana kita cerdas melihat dan bereaksi terhadap alam itu sendiri. Selain itu, pemilihan lokasi juga sangat tepat di tiga negara: Kanada, AS, dan Argentina. Sepertinya, Inarritu ingin sedikit memanjakan mata para penontonnya dengan pemandangan alam yang menarik. Lokasi yang tepat ini berpadu dengan kelihaian Lubezki sebagai sinematografer (DoP) yang berhasil menangkap sudut yang paling indah untuk menghasilkan gambar yang menawan.

6. SUASANA (4/5)

Inarritu sudah mempersiapkan segalanya di awal film. Suku Arikara datang menyerbu perkemahan Glass dan rekan-rekannya. Korban mulai berjatuhan dalam adegan yang cukup brutal dan luka beberapa korban yang ditampilkan secara terang-terangan. Dari situ kita tahu film ini akan membawa kita ke suasana yang seperti apa. Kematian Hawk juga merupakan salah satu penguat suasana dan penggerak Hugh Glass untuk bangkit dan membalas dendam. Meski demikian, harus saya tekankan di sini, hubungan Glass dengan Hawk, anaknya, terasa kurang dalam. Menurut pribadi saya, hubungan Glass dengan Hawk lebih cocok sebagai saudara, bukan sebagai ayah-anak. Bahkan, saat Glass menempelkan keningnya ke kening mayat Hawk, akan lebih pas rasanya jika Glass berkata dalam hati "selamat jalan, saudaraku.." karena memang kurangnya penguatan hubungan antara ayah-anak dalam diri Glass dan Hawk. Bahkan, mimpi dimana Glass bertemu kembali dengan anaknya juga tidak banyak membantu menguatkan hubungan mereka. Namun di luar itu, suasana pertarungan akhir dan suasana survival itu sendiri sudah sangat baik.

7. AMANAT (4,5/5)

Ada beberapa amanat yang dapat saya ambil melalui adegan dan dialog. Misalnya, "as long as you can still grab a breath, you fight" di awal film, lalu sifat kapten Henry yang baik dan tegas menggambarkan bahwa kebaikan itu butuh ketegasan. Tanpa ketegasan, kebaikan tidak akan ada artinya. Kemudian Sifat Bridge yang rela menemani Glass yang tengah sekarat bahwa tanpa diberi uang pun ia mau. Kemudian kalimat "the wind cannot defeat a tree with strong roots". Lalu saat Glass menyelamatkan seorang wanita suku Arikara, pada akhirnya suku tersebut tidak menyerang Glass walau jika mereka mau, mereka bisa melakukannya. Hal ini terjadi karena Glass telah berbuat baik pada wanita dari suku tersebut. Orang baik akan mendapat balasan yang baik pula. Perjuangan Glass dari awal sampai akhir juga mengajarkan kepada kita bahwa untuk bisa bertahan hidup di alam liar, kita harus memiliki mental yang kuat dan pantang menyerah, serta kecerdasan akal. Alam liar tersebut saya anggap sebagai dunia nyata yang penuh dengan pergulatan dan tantangan dalam hal apapun. Jika kita ingin sukses, kita harus cerdas dan bermental kuat, seperti Glass. Tapi sayangnya, tema balas dendam itu sendiri yang benar-benar tidak patut kita tiru. Fitzgerald yang seorang bajingan bangsat dan keparat di film tersebut ternyata pada akhirnya berkata, "Kau datang sejauh ini hanya untuk balas dendam. Apakah kau menikmatinya, Glass? Semua itu tidak akan bisa mengembalikan anakmu."


KESIMPULAN:
 
Salah satu film terdahsyat sepanjang kehidupan saya sebagai penikmat film. The Revenant berhasil menekankan aspek survival seorang penjelajah yang dikhianati oleh rekan kelompoknya dan berjuang untuk "bangkit dari kubur" serta bertahan hidup di tengah alam yang tidak kenal ampun. Film ini sukses membuat saya pribadi ikut terengah, meringis, sesak nafas, dan berdarah mengikuti irama kepedihan Hugh Glass.

TOTAL NILAI:
 4,10/5